HOTNASIONAL.COM, Bandung - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat (Walhi Jabar) menyoroti efektifitas keberadaan Badan Pengelola Kawasan Perkotaan (BPKP) Cekungan Bandung.
Walhi juga menilai, tidak ada perubahan ke arah perbaikan yang signifikan terkait kondisi lingkungan hidup di cekungan Bandung.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong mengatakan, tugas BPKP Cekungan Bandung mengoordinasi dan menyingkronisasi persoalan antara pemerintah kota dan kabupaten sebenarnya bisa dilakukan dinas atau badan mereka sendiri.
Ia mencontohkan, urusan kebutuhan tata ruang juga telah ada dinas di kabupaten atau kota yang menanganinya.
Kehadiran BPKP menunjukkan adanya persoalan komunikasi lintas pemerintahan di wilayah cekungan Bandung yang tak cair.
"Lalu dengan adanya badan ini, semua permasalahan itu yang kita sebut ego sektoral akan selesai, kan belum tentu juga," kata Meiki melalui keterangannya, dikutip Rabu (31/8/2022).
Tak hanya itu, keberadaan badan tersebut tentunya bakal membebani APBN, APBD guna alokasi anggaran. Demikian pula jika BPKP memakai anggaran lain di luar APBN dan APBD.
"Akan terjadi pemborosan," ucapnnya. Walhi juga masih belum memahami mengenai kewenangan badan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Jabar No 86 Tahun 2020.
"Kami juga masih belum faham apakah (BPKP) berwenang sampai perizinan," tuturnya.
Meiki pun meminta, BPKP bisa efektif melakukakan tindakan atau perencanaan yang sesuai kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) di cekungan Bandung.
Ia menilai, potensi dan tantangan cekungan Bandung sangat besar dari aspek lingkungan hidup.
"Misalnya persoalan sumber daya, terutama air," ucapnya.
Seiring perkembangan dan pembangunan kota, kebutuhan terhadap sumber air bahan baku bertambah besar. Demikian juga persoalan timbulan sampah, dan ketersediaan ruang terbuka hijau di wilayah cekungan Bandung.
"Kami melihat tidak ada perubahan ke arah perbaikan yang signifikan," ucapnya.
Meiki mencontohkan, persoalan sampah justru mendapat solusi dari pemerintah berupa insinerator atau penggunaan tungku pembakaran.
Urusan RTH juga masih bermasalah terkait pemenuhannya sebagaimana amanat Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Luasan RTH jika diakumulasikan dari wilayah cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi) masih pada angka 15 persen.
"Yang artinya masih di bawah 30 persen sebagaimana di atur regulasi," ujar Meiki.
Alih-alih bertambah dan sesuai aturan, luas RTH justru berkurang secara gamblang.
"Kawasan-kawasan terbangun itu lebih banyak dari dibandingkan taman-taman atau ruang terbuka hijau," katanya.
Hal serupa terjadi pada RTH privat 10 persen dari luasan lahan yang dibangun.
"Itu kan banyak yang tidak menaati itu kita bisa audit berapa hotel di cekungan Bandung yang menyediakan 10 persen lahan untuk RTH, jarang," ucapnya.
Setelah hotelnya jadi, Meiki juga mempertanyakan adanya monitoring penyediaan RTH privat tersebut.
"Di perencanaan Amdal rata-rata mencatumkan, tetapi faktualnya tidak," ujar Meiki.***
